DISKRIMINATIF & EKSPLOITATIF
|
PRAKTEK KERJA PEKERJA
PT. PERTAMINA TRAINING & CONSULTING (PTC) SEBAGAI PEKERJA OUTSOURCING PADA PERUSAHAAN PT.PERTAMINA (PERSERO)
SUB BISNIS AVIASI
|
|
5 konvensi ILO tentang hak dasar buruh/pekerja
: kebebasan berserikat, perundingan kolektif, persamaan remunerasi,
perlindungan sosial dan anti diskriminasi. Namun pada prakteknya terdapat
perbedaan hak-hak pekerja kontrak dan outsourcing dari pekerja tetap,
meskipun mereka melakukan jenis pekerjaan yang sama, dengan jam kerja yang
sama dan di tempat yang sama.
|
|
Cengkareng
|
21 Juni 2013
|
|
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alikum Wr.Wb
PRAKATA
Undang-undang
No. 13 tahun 2003 membawa banyak perubahan di dalam hubungan perburuhan. Salah
satu perubahan yang cukup penting adalah diizinkannya praktek outsourcing, yaitu
penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain atau menggunakan buruh yang
disediakan pihak lain. Praktek ini sepintas terlihat wajar, namun berbagai
kajian belakangan ini menunjukkan bahwa praktek ini dapat mendorong terjadinya
eksploitasi buruh yang cukup parah.
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003, Pasal 64, 65 dan 66, tidak mengenal istilah outsourcing, tetapi
istilah outsourcing
dikenal
dengan dua kategori istilah yaitu, yang pertama adalah penyerahan sebagian
pekerjaan/pemborongan pekerjaan (outsourcing pekerjaan)
dan yang kedua adalah penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing
tenaga
kerja atau agen penyalur tenaga kerja/pekerja outsourcing). Yang
ramai dipersoalkan, digugat, dan selalu ditolak oleh seluruh pekerja dan
serikat pekerja adalah tentang outsourcing tenaga
kerja, dimana persoalannya adalah bahwa para pekerja outsourcing
dieksploitasi
dalam bentuk upah rendah. Mayoritas pekerja outsourcing menerima
upah dibawah nilai upah minimum dan adanya pemotongan upah oleh agen outsourcing; tidak ada pesangon
dan jaminan pensiun, tidak ada jaminan kesehatan yang memadai, mudah di PHK
tanpa melalui proses peradilan perburuhan, dan usia produktif yang hilang
karena pekerja outsourcing pada umumnya disyaratkan berusia
dibawah 25 tahun. Maraknya penggunaan pekerja outsourcing ini adalah akibat
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dari Disnaker dan Kementerian
Nakertrans RI, terlebih lagi adanya multi tafsir terhadap isi Pasal 66
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang outsourcing tenaga kerja
tersebut. Bahkan banyak oknum pemerintah yang mengajari pengusaha untuk ”mengakali”
tafsiran isi pasal undang-undang tersebut. Kata kunci yang selalu digunakan
untuk “mengakali” penyimpangan penggunaan pekerja outsourcing
di
perusahaan adalah katakata ”antara lain”. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
pekerja outsourcing
dapat
digunakan “antara lain” disektor industri/jasa usaha penyediaan makanan (catering), usaha tenaga
pengaman (security), supir, cleaning
service dan
jasa penunjang perminyakan. Kata-kata ”antara lain” ini diartikan yang
lain-lainnya juga boleh menggunakan pekerja outsourcing. Inilah
cara berpikir yang keliru, akal-akalan dan menyesatkan, karena mereka tidak
membaca ayat sebelumnya yang tegas menyebutkan bahwa pekerja outsourcing
tidak
boleh digunakan dalam proses produksi langsung atau dikegiatan pokok, kecuali di
lima sektor industri tersebut (catering, driver, security, cleaning
service dan
jasa penunjang perminyakan). Atau dengan kata lain jika ingin menambah sektor
industri pekerjaanyang diperbolehkan untuk penggunaan pekerja outsourcing, maka akan
dilarang keras pada pekerjaan di proses produksi dan kegiatan pokok.
Sayangnya
praktek outsourcing
ini
tidak diimbangi dengan pengawasan-pengawasan yang lebih dapat menjamin terpenuhinya
hak-hak buruh. Setidaknya, begitulah gambaran yang diperoleh bahkan dialami
sendiri oleh teman teman serikat pekerja PTC Aviasi dalam bekerja dilingkungan
pertamina aviasi.
Dalam laporan ini, juga terlihat
bahwa praktek outsourcing dan subkontrak telah meningkatkan
tekanan bagi pekerja, termasuk terhadap kekuatan serikat buruh/pekerja.
Terlihat antara lain ketidakadilan yang dialami oleh pekerja outsourcing. Laporan ini
juga memperlihatkan bahwa ketidakjelasan kriteria jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan serta lemahnya
pengawasan memperkuat terjadinya praktek-praktek outsourcing
yang
menekan pihak buruh.
LATAR BELAKANG
Praktek
PKWT dan outsourcing
merupakan
wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia
oleh IMF
dan
World
Bank sebagai
syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi 1997. Kebijakan Pasar
Kerja Fleksibel merupakan salah satu konsep kunci dari kebijakan perbaikan
iklim investasi yang juga disyaratkan oleh IMF dan dicantumkan dalam Letter of
Intent atau
nota kesepakatan ke-21 antara Indonesia dan IMF butir 37 dan 42. Kesepakatan
dengan IMF tersebut menjadi acuan bagi penyusunan kebijakan dan peraturan
perbaikan iklim investasi dan fleksibilitas tenagakerja. Peraturan dan
kebijakan tersebut adalah:
1.
UU 13/2003 pasal 59 mengenai PKWT dan pasal 64-66
mengenai outsourcing.
2.
Kepmen 100/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT.
3.
Kepmen 101/2004 tentang Tata cara perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Buruh.
4.
Kepmen 220/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain.
5.
Permen 22/2009 tentang Penyelenggaraan Permagangan di
Dalam Negeri
Selain
itu kebijakan fleksibilitas tenaga kerja untuk memperbaiki iklim investasi juga
dicantumkan serta ditekankan dalam:
1.
Dokumen RPJMN 2004-2009 Bab 23 tentang Perbaikan Iklim
Ketenagakerjaan yang ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja formal dan
meningkatkan produktivitas pekerja dengan cara memperbaiki aturan main
ketenagakerjaan berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing ,
pengupahan, PHK dan perlindungan terhadap buruh yang berlebihan.
2.
Inpres no 3/2006 tentang paket kebijakan Perbaikan Iklim
Investasi paket ke-4 mengenai Ketenagakerjaan dalam kebijakan Menciptakan Iklim
Hubungan Industrial yang Mendukung Perluasan Lapangan Kerja.
3.
Inpres no.1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional prioritas ke -7 program Sinkronisasi Kebijakan
Ketenagakerjaan dan Iklim Usaha.
Pada
hakekatnya outsourcing
adalah
sebuah upaya mengalihkan pekerjaan atau jasa ke pihak ketiga. Tujuan utama outsourcing
pada
dasarnya adalah untuk:
§ menekan biaya dan berfokus
pada kompetensi pokok
§ melengkapi
fungsi yang tak dimiliki
§ melakukan
usaha secara lebih efisien dan efektif
§ meningkatkan
fleksibilitas sesuai dengan perubahan situasi usaha
§ mengontrol
anggaran secara lebih ketat dengan biaya yang sudah diperkirakan
§ menekan
biaya investasi untuk infrastruktur internal
Sebagai sebuah proses, outsourcing
menunjuk
pada usaha perusahaan untuk berkonsentrasi pada bisnis utama (corebusiness) yang dapat
mendatangkan keuntungan kompetitif dan mengontrakkan kegiatan-kegiatan usaha
yang bukan utama.
Ada
dua jenis outsourcing
yakni
BPO
(Business Process Outsourcing) yang identik dengan subkontrak dan labour supply
outsourcing atau
perekrutan buruh melalui perusahaan penyalur tenaga kerja. Dengan labour supply outsourcing muncul
dimensi baru dengan masuknya perantara yang berperan sebagai penyedia tenaga
kerja dan memunculkan sebuah situasi di mana perusahaan pengguna tenaga kerja
bukan menjadi majikan bagi buruhnya.
Temuan-temuan utama laporan ini adalah :
A.
Praktek hubungan kerja outsourcing membawa efek
fragmentatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap pekerja:
Praktek hubungan kerja tetap dan
kontrak telah menciptakan fragmentasi atau pengelompokan pekerja
berdasarkan status hubungan kerja di tingkat perusahaan. Dalam praktek ini di
satu perusahaan ada 2 kelompok pekerja yakni pekerja tetap/organik Pertamina,dan
pekerja PTC.
Praktek hubungan kerja outsourcing
membawa
setidaknya 2 bentuk diskriminasi terhadap pekerja:
usia dan status perkawinan, serta upah pekerja.
1.
Diskriminasi Usia : kebijakan ikutan yang diterapkan oleh
perusahaan pengguna untuk mempekerjakan pekerja outsourcing
adalah
menerapkan batasan usia dan status perkawinan bagi buruh outsourcing
yang
menimbulkan efek diskriminatif. Perusahaan mensyaratkan perusahaan yang berusia
18-24 tahun dan berstatus lajang untuk direkrut, dengan alasan produktivitas.
Memilih pekerja berstatus lajang membawa efek semakin sulitnya pekerja yang
sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan, atau tetap dapat direkrut namun dengan standar
pengupahan pada status lajang. Untuk usia pensiun pekerja outsource dibatasi
hingga 49 tahun bukan 55 tahun seperti yang di Undang-undangkan, kembali dengan
alasan produktivitas.
2.
Diskriminasi upah pekerja : pekerja organik dan outsourcing
yang
melakukan jenis pekerjaan yang sama
di tempat yang sama dengan jam
kerja yang sama mendapatkan upah pokok dan upah total yang berbeda. Pekerja
outsourcing mendapatkan upah jauh dibawah upah pekerja organik pada level yang
sama.
Praktek hubungan kerja outsourcing
cenderung
eksploitatif
karena
dengan kewajiban pekerjaan yang sama, jam kerja yang sama dan di tempat yang
sama dengan pekerja tetap, dan pekerja outsourcing memperoleh
hak yang berbeda.
B.
Praktek tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran dan
berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan hubungan
kerja kontrak dan outsourcing di tengah semakin lemahnya
kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh disnakertrans didalam kerangka
otonomi daerah.
Perbedaan penafsiran terhadap peraturan kontrak dan outsourcing
terjadi
di kalangan aparat pemerintah, pengusaha dan serikat buruh yang mengakibatkan
terjadinya silang sengketa mengenai pelanggaran yang terjadi. Secara umum terdapat
dua tafsir semua pihak terhadap peraturan hubungan kerja kontrak dan outsourcing
.
1.
Tafsir pertama, tak ada masalah dalam UUnya tetapi
persoalan muncul dalam pelaksanaan.
2.
Tafsir kedua, UU yang mengatur outsourcing
masih
perlu disempurnakan dengan mencantumkan mana pekerjaan inti dan pendukung,
serta perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi
pelanggarnya.
Selain perbedaan penafsiran terhadap
peraturan, juga terdapat dua pendapat mengenai peraturan outsourcing
.
1.
Pendapat pertama menyatakan bahwa legalisasi outsourcing
hanya
akan menjauhkan cita-cita pemerintah untuk memberantas kemiskinan karena
peraturan ini justru menghilangkan jaminan pekerjaan bagi warga negara serta
merupakan bentuk pengalihan resiko usaha dari pengusaha kepada pekerja. Oleh karena
itu outsourcing seharusnya dicabut dari UU 13/2003.
2.
Pendapat kedua menyatakan bahwa peraturan outsourcing
diperlukan
untuk melindungi buruh, menjadi insentif investasi dan menciptakan kesempatan
kerja, sehingga oleh karena itu harus dipertahankan.
Pelanggaran peraturan mengenai
pelaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing terjadi
dalam berbagai bentuk.
1.
Dalam hubungan kerja kontrak, perpanjangan masa kontrak dilakukan
lebih dari 2 kali dan dalam beberapa kasus kontrak diperpanjang hingga belasan
kali, sementara UU 13/2003 ps 59:4 mengatur:
“perjanjian
kerja waktu tertentu - PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1(satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
2.
Mengenai outsourcing tenaga
kerja, meskipun UU 13/2003 pasal 66:1 menyatakan bahwa
“Pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.”
praktek
yang umum adalah bahwa buruh outsourcing juga
digunakan di bagian bidang yang berkaitan langsung dengan proses produksi
sebagai operator.
Pelanggaran juga terjadi pada agen
penyalur tenaga kerja yang beroperasi yang tidak hanya berbadan hukum PT dan
Koperasi sebagaimana ditetapkan oleh Kepmen 101/2004 pasal 2(a), melainkan juga
CV, yayasan dan lembaga pendidikan. Berkaitan dengan penggunaan tenaga outsourcing
,
pelanggaran massal juga terjadi pada Kepmen 220/2004 pasal 6 : 2 dan 3 yang menetapkan
bahwa:
(6:2) “Perusahaan pemberi pekerjaan
yang akan menyerahkan sebagian pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan
pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.”
dan
(6:3) ”Berdasarkan alur kegiatan
proses pelaksanaan pekerjaan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) perusahaan
pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang
berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat.”
Jarang sekali perusahaan yang
melakukan outsourcing
tenaga
kerja membuat dan menyerahkan alur proses kerja dan melaporkannya pada Disnakertrans
setempat. Perbedaan tafsir mengenai jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan
mempekerjakan buruh outsourcing terjadi di antara perusahaan
pengguna buruh outsourcing dan para buruh dan serikatnya. Perbedaan
tafsir ini menimbulkan persengketaan mengenai apa yang disebut sebagai
pelanggaran dan apa yang tidak. Pihak perusahaan pengguna menafsirkan tidak
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penjelasan pasal 66 UU 13/2003 karena
ada kata ‘antara lain’ yang ditafsirkan hanya sebagai contoh jenis pekerjaan
dan dengan demikian jenis pekerjaan lain selain usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service),
usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga
pengaman (security/satuan
pengamanan),
usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh juga dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing
.
Pihak serikat buruh menafsirkan
bahwa jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh buruh outsourcing
hanya
usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan
bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Terhadap perbedaan penafsiran
tersebut dan implikasi praktisnya, Disnakertrans mengambil sikap tidak
mempermasalahkan tetapi menekankan pada tidak adanya perbedaan perlakuan dan
hak antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing di bagian manapun
mereka dipekerjakan.
Terhadap berbagai pelanggaran
terhadap peraturan hubungan kerja kontrak dan outsourcing tenaga kerja
Disnakertrans secara umum bersikap longgar karena Disnakertrans berpendapat:
a)
hampir semua perusahaan melakukan pelanggaran,
b)
jikaber sikap terlalu tegas perusahaan akan lari dan
c)
tidak ada basis legal untuk menjalankan sanksi yang
tegas.
C.
Praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing
memperlihatkan
terjadinya pelanggaran terhadap stándar inti perburuhan dalam konvensi ILO no.
87, 98, 100, 102 dan 111.
Pelanggaran terhadap 5 stándar
inti perburuhan dalam konvensi ILO yakni
a) No. 87, mengenai Kebebasan Berserikat,
b) No. 98, mengenai Perundingan
Kolektif,
c) No. 100, mengenai Persamaan Remunerasi,
d) No. 102, mengenai Perlindungan Sosial dan
e) No. 111, mengenai Anti Diskriminasi.
Ø Melarang
buruh kontrak dan outsourcing untuk berserikat baik secara
langsung maupun tidak langsung, merupakan bentuk pelanggaran terhadap konvensi
ILO No. 87 dan No. 98.
Ø Pemberian
upah dan tunjanganyang berbeda diantara buruh
kontrak/outsourcing
dan
buruh tetap merupakan pelanggaran terhadap konvensi No. 100 dan No. 102.
Ø Sedangkan
preferensi pengusaha untuk hanya mempekerjakan buruh berusia 18-24 tahun dan
berstatus lajang merupakan pelanggaran terhadap konvensi ILO No. 111, karena
menutup kesamaan kesempatan bagi buruh dalam kelompok usia produktif dan buruh
menikah yang harus menghidupi keluarganya.